AKHIR TAHUN 2008 dan menjelang awal tahun 2009, pemerintah Indonesia
membuka gebrakan baru di dunia pendidikan yaitu disahkannya Rencana
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan [RUU-BHP]. Pengesahan RUU BHP telah
dilakukan pada tanggal 17 Desember 2008. Banyak pihak pro dan kontra
terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk Hukum
Penyelenggaraan Pendidikan Formal. Fokus permasalahan yaitu terletak
pada sistem pendanaan yang diatur dalam UU BHP.
Eksistensi UU BHP
merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini
dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan
dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan
tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang
tersendiri.
Pihak
pro dan kontra pengesahan UU BHP, di satu sisi mengganggap kehadiran UU
BHP merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan
sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di
Indonesia. Namun, di sisi lain justeru kehadiran UU BHP merupakan
sebagai bentuk kapitalisme dunia pendidikan, yang berdampak pada
liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan menggambarkan penghindaran
tanggung jawab kewajiban pemerintah pada dunia pendidikan.
Pemerintah
mengganggap UU BHP sudah final dan isinya tidak memberatkan orang tua
dan masyarakat. Di dalam UU BHP disebutkan bahwa peserta didik hanya
membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional dari
satu satuan pendidikan. Artinya, UU BHP membatasi biaya yang harus
dikeluarkan orang tua yaitu maksimal 1/3 bagian dari biaya operasional
yang dianggarkan oleh penyelenggaraan pendidikan. Padahal di SD dan SMP
sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD Rp 400.000,00
per unit/bulan untuk kota, sedangkan bagi kabupaten Rp 397.000,00. Untuk
SMP perkotaan Rp 575.000,00 dan kabupaten Rp 570.000,00. Kalau sudah
ada dana BOS, berarti sekolah tidak diperkenankan menarik iuran lain.
Yang menjadi pertanyaan ”Apakah jumlah yang diberikan itu cukup untuk
mendanai biaya operasional pendidikan, meskipun pada tahun 2009 dana BOS
itu telah naik 50% dari tahun lalu?” Dengan adanya UU BHP pemerintah
hanya membantu biaya operasional 2/3 bagian, sedangkan 1/3 bagiannya
dibebankan kepada orang tua. Jadi, terdapat kerancuan mengenai pendanaan
operasional khusus bagi penyelenggaraan pendidikan di tingkat SD dan
SMP, di mana biaya pendidikan masih dibebankan kepada orang tua. Jadi,
keesokan hari akan bermunculan pihak SD dan SMP kembali memungut biaya
pendidikan seperti dulu lagi (BP3).
Beberapa
kalangan yang kontra berpendapat bahwa pemerintah hanya akan mendanai
SD dan SMP atau setingkatnya, yang disebut sebagai public goods,
sedangkan SMA/sederajat sampai Perguruan Tinggi disebut private goods,
artinya pemerintah tidak mendanainya.
Formulasi
pendanaan biaya pendidikan SMA dan PT pasca pengesahan UU BHP banyak
menuai protes dari berbagai kalangan, terutama Perguruan Tinggi. Pihak
yang kontra mendesak agar pengesahan UU BHP perlu ditinjau ulang kembali
terutama dalam hal pembagian pendanaan pendidikan dan sisa hasil usaha.
Kelompok mahasiswa menjadi gamang dan mengganggap biaya pendidikan di
kemudian hari akan terus membengkak. Oleh karena itu, mereka terus
melancar aksi protes untuk menolak UU BHP.
UU
BHP menegaskan jika PTN sudah berbentuk BHP maka sanksi yang
diberlakukan apabila terjadi pelanggaran BHP yaitu kurungan penjara
selama 5 tahun dan ditambah denda sebesar Rp 500 juta. Sementara itu,
Mendiknas mengatakan bahwa pemerintah mendorong PTN untuk semakin
kreatif, mandiri, dan memberikan rambu-rambu yang jelas dan memberikan
perlindungan kepada peserta didik dan mahasiswa. Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Depdiknas, Fasli Jalal, juga menjelaskan, pengesahan
RUU BHP ini akan sangat bermakna bagi akses dan pembiayaan pendidikan,
khususnya mahasiswa yang berkategori kurang mampu. Meskipun mahasiswa
masih dapat dipungut biaya operasional, tetapi besarnya maksimal
sepertiganya dan PTN yang sudah BHP harus menjaring 20% dana yang
berasal dari mahasiswa kurang mampu. Untuk bantuan pemerintah kepada
PTN, akan bersumber dari hibah kompetisi. Artinya, Pemerintah akan
memberikan bantuan berdasarkan kinerja, kompetensi, dan proposal
pengajuan bantuan dari PTN.
Sebagai
bahan renungan dan refleksi terhadap dunia pendidikan akhir tahun 2008
dan memasuki tahun baru 2009, ternyata UU BHP menambah ’catatan merah’
dunia pendidikan di Indonesia. Maksud dan tujuan produk hukum UU BHP
masih perlu diselidiki dan ditelaah kembali. Apakah ini merupakan suatu
’kemajuan’ atau ’kemunduran’ bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Sebagai
catatan akhir tulisan ini penulis menambahkan bahwa pengesahan UU BHP,
hendaknya harus memperhatikan 4 aspek. Pertama, aspek fungsi negara
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah
dalam bidang pendidikan, serta hak dan kewajiban warga negara dalam
bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945). Kedua, aspek filosofis yakni
cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas
dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Ketiga, aspek pengaturan mengenai
badan hukum pendidikan, sebagai implementasi tanggung jawab negara.
Keempat, aspek aspirasi masyarakat, yang harus mendapat perhatian agar
tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dunia pendidikan di
kemudian hari. Dari keempat aspek tersebut terbesit suatu pertanyaan
“Apakah pengesahan UU BHP telah memenuhi keempat aspek di atas?”
Wallahualam***
http://nadhirin.blogspot.com/2009/01/pro-kontra-ruu-bhp.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar