Rabu, 18 April 2012

Pencurian Uranium Indonesia oleh Freeport McMoran

Pencurian Uranium Indonesia oleh Freeport McMoran

Suatu berita mengejutkan soal PT Freeport Indonesia (FI). Kabarnya perusahaan tambang raksasa itu dilaporkan memproduksi serta mengekspor uranium sejak delapan bulan silam.Tindakan PT. Freeport Indonesia (FI) yang telah melenceng jauh dari kontrak karyanya ini, bukan merupakan hal yang baru, pasalnya perusahaan raksasa ini hanya diketahui menambang tembaga, sedangkan emas, batu bara dan bahan tambang non migas lainnya baru diketahui publik pada tahun 1990-an.
Kali ini, sebagaimana diberitakan Harian Bintang Papua, perusahaan Amerika yang sudah beroperasi di Papua sejak tahun 1964 itu kembali mengulang sejarah dengan melakukan penambangan Uranium tanpa sepengetahuan Pemerintah, dan publik Papua. Hal ini membuat DPR Papua naik pitam, pasalnya dari hasil tambang yang dikeruk perusahaan raksasa dunia itu, pemerintah dan rakyat Papua hanya kebagian Rp30 miliar.

Freeport diduga menggali bahan baku uranium secara diam-diam sejak delapan bulan silam. Hal itu diungkap oleh Yan Permenas Mandenas S.Sos, Ketua Fraksi Pikiran Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua kepada ANTARA di Jayapura, Selasa (13/7), di ruang kerjanya. Ia menjelaskan, “Kegiatan ini dilakukan secara tersembunyi dan telah berlangsung cukup lama”
Anggota Komisi C DPR Papua itu menambahkan, Freeport telah mencuri hasil kekayaan masyarakat Papua dan membohongi pemerintah dengan hasil tambang yang disalurkan lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah. “Ini namanya pencuri, PT Freeport sudah lakukan pencurian, karena diam-diam memproduksi Uranium yang tidak ada dalam kontrak kerja”.
Informasi ini menurutnya, didapatkan dari sejumlah masyarakat dan karyawan Freeport di Timika. Dijelaskannya, “Selain karyawan dan masyarakat, saya juga mendapat laporan dari sumber yang dapat dipercaya”.

Hal ini sangat disayangkan mengingat pajak yang didapatkan dari perusahaan emas terbesar didunia ini, hanya berjumlah Rp30 milyar pada tahun lalu. Mandenas juga mengeluhkan, bahwa dewan belum bisa bergerak karena terkendala masalah klasik, yaitu belum ada alokasi dana untuk turun ke lapangan.
Menyinggung, tindakan DPRP terhadap penambangan liar tersebut, Yan mengatakan, walaupun PT FI berada di wilayah pemerintah Provinsi Papua, namun Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak bisa mengambil tindakan yang legal terhadap perusahaan raksasa tersebut.
Ia menjelaskan, “Kalau untuk PT Freeport ini birokrasinya terlalu panjang dan berbelit-belit, kami susah masuk ke sana, kan semua mineral tambang itu dikirim lewat pipa-pipa, siapa yang tahu, tidak adakan, apalagi akses kesana tidak gampang”.
Namun, sambung Yan, DPRP tidak hilang akal, tinjauan ke lokasi penambangan akan tetap dilakukan sambil menunggu pengurusan birokrasi untuk meninjau lokasi penambangan perusahan tersebut.
Papua, Tanah Rebutan Tiga Negara Asing
Menurut penulusuran Lia Suntoso, peneliti The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Papua merupakan daerah yang kini menjadi perebutan antara tiga kekuasaan. Yang satu adalah negara adidaya Amerika Serikat, dua lainnya Inggris dan Australia. Ini semua berawal dari keberadaan Freeport di Papua yang memulai operasi pada tahun 1967. Kini, gejolak politik di sana sudah bergerak terlalu jauh dari inti permasalahan sesungguhnya. Pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, dan korupsi yang merajalela di tanah Papua seringkali membuat kita lupa untuk mengkaji ulang apa sebenarnya yang membuat harga Papua begitu mahal bagi NKRI.
Potensi tanah Papua memang tidak diragukan lagi. Dan, sebagian besar saham Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Gold Inc, dan sisanya dimiliki oleh raksasa pertambangan Inggris/Australia Rio Tinto; Rio Tinto sendiri hak 40% atas pemberdayaan Grasberg (laporan tahunan Freeport dapat diakses melalui www.fcx.com; situs Rio Tinto adalah www.riotinto.com).
Selain keberadaan Freeport yang memberi keuntungan besar, apa menariknya Papua bagi ketiga negara tersebut, dan kalau perlu dipisahkan dari NKRI? Secara kebetulan, UU Investasi Asing pertama di Indonesia, UU Nomor 1 (1967) Pasal 6 ayat (1-h) mencatat pembangkitan tenaga atom sebagai salah satu bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh karena bidang ini dianggap penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Masalahnya, jurnal berbagai scientific community mencatat bahwa kekayaan alam di Papua belum sepenuhnya tereksplorasi, termasuk di antaranya adalah tambang uranium.
Amerika Serikat kebakaran jenggot melihat program nuklir di Libia, Iran, atau Korea Utara, meskipun pada kenyataannya AS merupakan konsumen uranium terbesar dunia saat ini –yang tidak memiliki sumber daya alam yang signifikan atau setidaknya belum mau terbuka mengenai potensi bahan baku nuklir di dataran Amerika sendiri.
Karena itu, Amerika Serikat dan Inggris, sebagai sekutu dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan, pasti akan sangat dipermudah dengan terdapatnya, sekecil apa pun, sumber uranium di Papua. Atau sebaliknya, keberadaan nuklir akan sangat menaikkan harga atau global positioning Indonesia di mata dunia.
Apabila dihubungkan dengan pergerakan politik internasional, disinyalir tolak-menolak antara negara-negara nuklir dan non-nuklir terlihat sangat jelas. Melihat betapa pentingnya peran nuklir dalam diplomasi pada saat ini, perang atas Papua mungkin saja merupakan produk tarik-menarik antara Amerika dan Inggris, dan Australia, dengan Australia yang memiliki posisi lebih kuat dan nothing to lose dalam konteks ini.
Berbagai teori geologi pecahan lempeng menyebut benua Australia, Pulau Papua (Papua Nugini dan Irian Jaya), dan Timor Timur adalah satu daratan. Jelas bukan mustahil Papua adalah sumber potensial, readily available, uranium bagi Amerika Serikat. Uranium terbentuk dalam supernova, jauh sebelum zaman Pangaea. Berlanjut dengan terpisahnya lempeng Aust
S
Suatu berita mengejutkan soal PT Freeport Indonesia (FI). Kabarnya perusahaan tambang raksasa itu dilaporkan memproduksi serta mengekspor uranium sejak delapan bulan silam.Tindakan PT. Freeport Indonesia (FI) yang telah melenceng jauh dari kontrak karyanya ini, bukan merupakan hal yang baru, pasalnya perusahaan raksasa ini hanya diketahui menambang tembaga, sedangkan emas, batu bara dan bahan tambang non migas lainnya baru diketahui publik pada tahun 1990-an.
Kali ini, sebagaimana diberitakan Harian Bintang Papua, perusahaan Amerika yang sudah beroperasi di Papua sejak tahun 1964 itu kembali mengulang sejarah dengan melakukan penambangan Uranium tanpa sepengetahuan Pemerintah, dan publik Papua. Hal ini membuat DPR Papua naik pitam, pasalnya dari hasil tambang yang dikeruk perusahaan raksasa dunia itu, pemerintah dan rakyat Papua hanya kebagian Rp30 miliar.
Freeport diduga menggali bahan baku uranium secara diam-diam sejak delapan bulan silam. Hal itu diungkap oleh Yan Permenas Mandenas S.Sos, Ketua Fraksi Pikiran Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua kepada ANTARA di Jayapura, Selasa (13/7), di ruang kerjanya. Ia menjelaskan, “Kegiatan ini dilakukan secara tersembunyi dan telah berlangsung cukup lama”
Anggota Komisi C DPR Papua itu menambahkan, Freeport telah mencuri hasil kekayaan masyarakat Papua dan membohongi pemerintah dengan hasil tambang yang disalurkan lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah. “Ini namanya pencuri, PT Freeport sudah lakukan pencurian, karena diam-diam memproduksi Uranium yang tidak ada dalam kontrak kerja”.
Informasi ini menurutnya, didapatkan dari sejumlah masyarakat dan karyawan Freeport di Timika. Dijelaskannya, “Selain karyawan dan masyarakat, saya juga mendapat laporan dari sumber yang dapat dipercaya”.
Hal ini sangat disayangkan mengingat pajak yang didapatkan dari perusahaan emas terbesar didunia ini, hanya berjumlah Rp30 milyar pada tahun lalu. Mandenas juga mengeluhkan, bahwa dewan belum bisa bergerak karena terkendala masalah klasik, yaitu belum ada alokasi dana untuk turun ke lapangan.
Menyinggung, tindakan DPRP terhadap penambangan liar tersebut, Yan mengatakan, walaupun PT FI berada di wilayah pemerintah Provinsi Papua, namun Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak bisa mengambil tindakan yang legal terhadap perusahaan raksasa tersebut.
Ia menjelaskan, “Kalau untuk PT Freeport ini birokrasinya terlalu panjang dan berbelit-belit, kami susah masuk ke sana, kan semua mineral tambang itu dikirim lewat pipa-pipa, siapa yang tahu, tidak adakan, apalagi akses kesana tidak gampang”.
Namun, sambung Yan, DPRP tidak hilang akal, tinjauan ke lokasi penambangan akan tetap dilakukan sambil menunggu pengurusan birokrasi untuk meninjau lokasi penambangan perusahan tersebut.
Papua, Tanah Rebutan Tiga Negara Asing
Menurut penulusuran Lia Suntoso, peneliti The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Papua merupakan daerah yang kini menjadi perebutan antara tiga kekuasaan. Yang satu adalah negara adidaya Amerika Serikat, dua lainnya Inggris dan Australia. Ini semua berawal dari keberadaan Freeport di Papua yang memulai operasi pada tahun 1967. Kini, gejolak politik di sana sudah bergerak terlalu jauh dari inti permasalahan sesungguhnya. Pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, dan korupsi yang merajalela di tanah Papua seringkali membuat kita lupa untuk mengkaji ulang apa sebenarnya yang membuat harga Papua begitu mahal bagi NKRI.
Potensi tanah Papua memang tidak diragukan lagi. Dan, sebagian besar saham Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoran Copper & Gold Inc, dan sisanya dimiliki oleh raksasa pertambangan Inggris/Australia Rio Tinto; Rio Tinto sendiri hak 40% atas pemberdayaan Grasberg (laporan tahunan Freeport dapat diakses melalui www.fcx.com; situs Rio Tinto adalah www.riotinto.com).
Selain keberadaan Freeport yang memberi keuntungan besar, apa menariknya Papua bagi ketiga negara tersebut, dan kalau perlu dipisahkan dari NKRI? Secara kebetulan, UU Investasi Asing pertama di Indonesia, UU Nomor 1 (1967) Pasal 6 ayat (1-h) mencatat pembangkitan tenaga atom sebagai salah satu bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh karena bidang ini dianggap penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Masalahnya, jurnal berbagai scientific community mencatat bahwa kekayaan alam di Papua belum sepenuhnya tereksplorasi, termasuk di antaranya adalah tambang uranium.
Amerika Serikat kebakaran jenggot melihat program nuklir di Libia, Iran, atau Korea Utara, meskipun pada kenyataannya AS merupakan konsumen uranium terbesar dunia saat ini –yang tidak memiliki sumber daya alam yang signifikan atau setidaknya belum mau terbuka mengenai potensi bahan baku nuklir di dataran Amerika sendiri.
Karena itu, Amerika Serikat dan Inggris, sebagai sekutu dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan, pasti akan sangat dipermudah dengan terdapatnya, sekecil apa pun, sumber uranium di Papua. Atau sebaliknya, keberadaan nuklir akan sangat menaikkan harga atau global positioning Indonesia di mata dunia.
Apabila dihubungkan dengan pergerakan politik internasional, disinyalir tolak-menolak antara negara-negara nuklir dan non-nuklir terlihat sangat jelas. Melihat betapa pentingnya peran nuklir dalam diplomasi pada saat ini, perang atas Papua mungkin saja merupakan produk tarik-menarik antara Amerika dan Inggris, dan Australia, dengan Australia yang memiliki posisi lebih kuat dan nothing to lose dalam konteks ini.
Berbagai teori geologi pecahan lempeng menyebut benua Australia, Pulau Papua (Papua Nugini dan Irian Jaya), dan Timor Timur adalah satu daratan. Jelas bukan mustahil Papua adalah sumber potensial, readily available, uranium bagi Amerika Serikat. Uranium terbentuk dalam supernova, jauh sebelum zaman Pangaea. Berlanjut dengan terpisahnya lempeng Australia yang sekarang dikenal sebagai benua Australia dan Pulau Papua, endapan mineral yang terkandung dalam lempeng tersebut kemungkinan besar sama.
Di daerah yang begitu miskin, mungkin rakyat Papua sendiri tidak menyadari apa yang berada di bawah kaki mereka. Karena itu, sudah waktunya, ada atau tidaknya kekayaan alam yang tersembunyi, pemerintah kita melakukan survei untuk memperjelas kepentingan-kepentingan luar negeri yang dapat dikatakan tendensius seputar Papua, untuk mempertahankan aset negara, sesuai dengan versi asli UU Nomor 1 (1967).
Selama ini banyak kekayaan alam yang seharusnya dapat menjadi pemasukan negara dan dapat mensejahterakan rakyat diambil alih oleh pihak asing. Mereka cenderung mengeksploitasi sumber daya alam kita untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Potensi alam Indonesia sangat melimpah. Seharusnya kita menyadari itu dan berusaha untuk mengelola sumber daya alam tersebut dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selain itu apabila kita dapat mengelola potensi alam kita sendiri secara bijaksana tentu hal tersebut akan berdampak pada membaiknya perekonomian Indonesia. Sudah saatnya berubah.

Tidak ada komentar: