Kamis, 30 Juni 2011

Menyetop Perbudakan

Oleh Jeffrie Geovanie
 Perbudakan adalah praktik kepemilikan orang/manusia layaknya hewan atau properti yang menjadi hak milik dan bisa diperlakukan sekehendaknya. Praktik semacam ini sudah ada sejak jaman purba dan secara perlahan dihapuskan searah kemajuan jaman. Di dunia Arab, secara normatif perbudakan mulai dihapuskan dengan datangnya Islam, yakni pada abad ketujuh Masehi.
Tapi, menurut kesaksian Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Said Aqil Siradj yang pernah tinggal bertahun-tahun di Arab Saudi, praktik perbudakan di negara-negara Arab masih banyak ditemukan pada era modern seperti sekarang.
Penyebabnya, kata Aqil Siradj, antara lain karena sepanjang sejarah orang Arab selalu merasa dirinya tuan. Karenanya, siapa pun yang bekerja pada mereka, terutama para pekerja di wilayah domestik seperti pembantu rumah tangga (PRT) biasanya diperlakukan seperti budak.
Sepanjang sejarah, tidak ada PRT yang berasal dari Arab, kalau tidak dari Afrika, pada umumnya dari Asia, terutama Indonesia. Di Arab Saudi, para PRT yang berasal dari Indonesia paling diminati karena di samping bisa dibayar relatif lebih murah juga paling sedikit diperhatikan oleh pemerintahnya.
Bandingkan misalnya dengan PRT yang berasal dari Filipina, di samping lebih mahal, jika ada masalah sedikit saja, pemerintahnya pasti akan melancarkan protes pada pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Mengapa orang Indonesia banyak yang tertarik pergi ke Arab? Selain karena alasan ekonomi, juga karena faktor ideologi, yakni masih adanya keyakinan bahwa tinggal di Arab atau berada di lingkungan orang-orang Arab, merupakan kemuliaan.
Perpaduan antara faktor ekonomi dan ideologi inilah yang senantiasa mendorong kebanyakan warga negara Indonesia, terutama yang tak berpendidikan untuk mencari kerja di negara-negara Arab. Banyaknya cerita tentang kepahitan yang mereka hadapi–dari perlakuan kasar, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan—sama sekali tak membuat mereka kapok.
Di luar dari kedua faktor ini, persoalan menjadi rumit disebabkan munculnya agen-agen penyalur tenaga kerja yang semata-mata ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara itu, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa, di samping karena banyak oknum pejabat yang ikut mencari keuntungan atau diuntungkan, juga karena secara formal pemerintah mendapatkan umpan balik remitansi yang tidak sedikit sebagai sumber devisa negara.
Bertemunya beragam persoalan dan kepentingan itulah yang menjadikan problem tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama tenaga kerja wanita (TKW), menjadi sangat rumit.
Oleh karena itu, menurut saya, tewasnya Ruyati binti Satubino di tangan algojo Kerajaan Arab Saudi yang mendapat sorotan semua mata dan media di tanah air bisa menjadi momentum untuk menghentikan praktik pengiriman TKI/TKW yang jelas-jelas merupakan bentuk human trafficking (perdagangan manusia) untuk diperbudak di negara lain, terutama di Arab Saudi.
Lahirnya kebijakan pemerintah menghentikan sementara (moratorium) pengiriman TKI/TKW ke Arab Saudi patut kita apresiasi (daripada tidak ada kebijakan sama sekali). Tapi, alangkah lebih baik jika praktik yang tidak berperikemanusiaan ini kita hentikan sama sekali.
Kalaupun kebijakan pengiriman TKI/TKW kelak dibuka kembali. Diperlukan persiapan yang matang. Selain bekal keterampilan yang memadai bagi TKI/TKW, yang tidak kalah penting adalah adanya perjanjian government to government (g to g) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara di mana TKI/TKW ditempatkan.
Kontrak kerja (MoU) antara tenaga kerja dan pihak yang mempekerjakan harus jelas dan terkontrol, sehingga pada saat terjadi hal-hal yang tak diinginkan bisa ditangani dengan cepat.
Ketentuan-ketentuan ini semua harus tertuang dengan tegas dalam perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan terutama agar penyiapan dan perlindungan terhadap TKI/TKW menjadi prioritas ketimbang penempatannya. Dengan ketentuan-ketentuan ini, besar harapan kita, tak akan ditemukan lagi praktik perbudakan dan perdagangan manusia ke luar negeri.
Selanjutnya, agar tak ada lagi ketertarikan menjadi TKI/TKW di Arab Saudi, diperlukan langkah-langkah strategis, pertama dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup di tanah air; kedua, dengan memberikan keterampilan yang memadai bagi para pencari kerja seraya diberi motivasi untuk berwiraswasta; dan ketiga penanaman ideologi yang benar bahwa dalam Islam tidak ada keistimewaan antara (tanah) Arab dan bukan Arab (Ajam).
*) Tulisan pernah dimuat di Padang Ekspres, 28/6/2011
Penulis adalah Ketua Wilayah Nasional Demokrat DKI Jakarta, Anggota Komisi I DPRRI
sumber

Tidak ada komentar: